Oleh Akhmad Yusuf
Kau sedang
kemana hingga kertasmu kosong melompong? Begitulah sindiran yang di sampaikan
oleh Fred Allen (1894-1956), komedian dan satiris asal Amerika Serikat kepada
orang-orang yang enggan untuk menulis. Menulis merupakan media komunikasi
antarsesama manusia dengan bahasa tulisan. Sebenarnya media tulisan ini sudah lama di pakai oleh
pendahulu kita sebelum ada handphone mereka menggunakan surat sebagai alat
untuk berkomunikasi. Banyak faktor yang menyebabkan banyak mahasiswa tidak suka
dengan menulis. Salah satunya yaitu ketakutan akan menulis. Tidak jarang
mahasiswa merasa khawatir jika tulisan yang dibuatnya dinilai jelek oleh
pembaca. Sebenarnya itu bukanlah masalah
yang besar, karena penulis
senior AS Laksana telah menasehati kita dalam buku Creative Writing-nya menganjurkan
kita untuk mengawali menulis dengan buruk. Semua itu hanyalah proses, proses, dan proses seperti
kata Danarto. Tingal bagaimana kemauan dari kita sendiri. Jadi, sebenarnya kita tidak perlu merasa takut dengan
dunia tulis-menulis karena kita dapat berproses di dalamnya.
Selain ketakutan tersebut, menulis masih dianggap tidak begitu penting bagi
mahasiswa. Baginya menulis hanyalah kegiatan yang terjadi didalam kelas ataupun
saat ada tugas-tugas kuliah, tidak lebih. Itu sama saja dengan pola pikir yang
di miliki oleh anak SMP atau SD. Padahal
sebenarnya menulis tidak hanya itu-itu
saja. Menulis juga bukan kegiatan yang hanya melatih tangan untuk bekerja,
namun ada perpaduan antara pikiran dan hati yang saling berkesinambungan. Ada beberapa
alasan mengapa mahasiswa harus bisa menulis. Diantaranya dari tulisan-tulisan
yang telah dibuat akan memwakili bagaiamana pola pikir dari penulisnya. Apa
wacana yang dibawa oleh penulis terlihat dari bentuk-bentuk tulisannya sehingga
menunjukan wawasan dan dinamika yang dimiliki
penulis.
Dengan menulis kita sebenarnya bisa mengembangkan apa yang ada dalam pikiran
dan hati kita yang kemudian dituangkan dalam media dengan rangkaian kata-kata. Diksi
yang diambil tak perlu rumit sehingga dapat di mengerti oleh pembaca. Kita
tidak perlu menggunakan bahasa ilmiah yang sulit terlihat intelek. Menulis bisa
menjadi media penyalur aspirasi atau luapan perasaan si penulis dengan begitu
orang lain bisa menjadi tahu apa yang ada dalam persaan kita. Marahkah, senang,
atau sedih karena sakit hati. Kegiatan menulis sejatinya adalah tradisi
intelektual bagi mahasiswa. Karena dengan membiasakan diri untuk menulis akan
sangat baik untuk melatih daya ingat. Menulis juga berguna untuk mendokumentasikan
pengetahuan dan ilmu yang telah kita dapat agar tidak lenyap begitu saja.
Menulis juga ibarat sedang mengukir sejarah. Bisa jadi apa yang telah kita
tuangkan dalam tulisan akan menjadi bukti sejarah. Suatu hari nanti para
penerus kita menemukan tulisan-tulisan yang telah kita buat dan dijadikan
referensi dalam menatap jejak peristiwa yang terjadi dimasa lalu dalam tulisan
kita. Tulisan membuat kita akan dikenang oleh zaman dan juga bisa bisa
mewariskan cita-cita dan perjuangan kita kepada generasi penerus. Ini sama sekali tidak melebih-lebihkan, karena
sejarah juga telah membuktikan hal demikian bisa terjadi. Kita tahu bahwa
Robert Einstein sebagai seorang tokoh fisikawan yang amat terkenal, ia tidak
bisa di kenal oleh kita jika ia tidak menuliskan ratusan makalah yang di
buatnya.
Kita tentu mengenal Soe Hok Gie, seorang aktivis yang suka mendaki gunung, dia sangat bisa menjadi inspirasi yang telah
memberikan contoh bahwa menulis sejatinya adalah bersifat membebaskan. Seperti Tan
Malaka dan Pramoedya Ananta Tour yang menjadikan tulisan-tulisan mereka sebagai
bentuk perlawanan. Tulisan-tulisan itu seperti menjadi senjata yang ampuh untuk
membuka mata hati para pembacanya.
Menulis itu
Mudah
Menulis tidaklah sesulit yang sebagian orang bayangkan. Namun, tidak
semudah membalikkan telapak tangan. Hal yang penting dalam proses menulis
adalah pertama kita harus rajin membaca, namun menurut Nh. Dini membaca
merupakan kemewahan bagi 80% manusia Indonesia. Dari pernyataan tersebut sudah
kelihatan bahwa membaca saja merupakan hal yang mewah apalagi dengan menulis?
Hal ini berbeda dengan Jepang yang mempunyai budaya baca yang sangat tinggi, mereka
dapat membaca di manapun ia mau bahkan di toilet pun ada yang menyempatkan
untuk membaca.
Ada seorang teman berkata berkata
kepadaku “saya tidak bisa menulis” itu merupakan kesalahan pertama yang
menjadikan dirinya semakin tidak mau untuk menulis. Toh selama ini kita masih bisa bercakap-cakap
dengan teman, tentu menulis pun pasti bisa, karena menulis itu sendiri tak ubahnya dengan bercakap-cakap. Kita hanya perlu memindahkan saja
ucapan yang kita lontarkan menjadi sebuah tulisan. Seperti Barbara Cartland yang telah menulis 623 novel selama hidupnya,
ia hanya mendiktekan ucapannya kepada asisten steno, kemudian asisten lain
memindahkan tulisan steno itu menjadi draft novel yang selanjutnya akan diedit
oleh Barbara Cartland. Apa salahnya bila kita mencoba yang telah di lakukan
Barbara Cartland, kita hanya perlu handphone untuk merekam lalu memindahkannya,
sehingga tidak ada alasan untuk merasa sulit dalam menuliskan sesuatu yang
ingin kita tuliskan. Memang ada beberapa hal yang seringkali dijadikan
kendala dalam menulis, seperti adanya aturan ejaan yang disempurnakan (EYD)
yang sering kita temukan dalam gaya penulisan ilmiah, namun sebenarnya
itu bukanlah suatu masalah yang besar karena menulis itu sendiri adalah
bersifat pembelajaran. Dengan kita belajar dan berproses untuk bisa menulis
dengan sendirinya kita akan menemukan kesalahan-kesalahan dari tulisan-tulisan
yang telah kita buat. Dari yang mungkin asalnya acak-acakan karena
lama-kelamaan menjadi terbiasa akhirnya mampu memperbaiki kesalahan-kesalahan
tersebut dan tulisan yang kita ciptakan semakin hari menjadi semakin
baik.